Saturday, May 7, 2016

Obesitas dan Dampaknya terhadap Penyakit Kardiovaskular

Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan protein. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan kebutuhan energi, dimana konsumsi kalori terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan atau pemakaian energi (Krisno, 2002). Obesitas adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan. Sekitar 50-70% obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa. Ukuran untuk menentukan seseorang obesitas umumnya dipakai indeks berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat, disebut dengan indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index (BMI) (WHO, 2006).
Klasifikasi Internasional untuk berat badan lebih dan obesitas menurut WHO:
Klasifikasi
BMI (kg/m2) prinsip cut-off points
Kurang Gizi
<18,50
Normal
18,50 – 24,99
Pre-obesitas
25,00 – 29,99
Obesitas 1
30,00- 34,99
Obesitas 2
35,00-39,99
Obesitas 3
≥40,00
Sumber: Adaptasi dari WHO, 1995, WHO, 2000, WHO, 2004.
Penyebab obesitas adalah  ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energy yang keluar dan merupakan akumulasi simpanan energy yang berubah menjadi lemak (Lestari, 2012). Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga dapat mengakibatkan terjadinya obesitas. Secara genetik, parental fatness memiliki peran besar dalam penentuan obesitas sang anak. Bila kedua orang tua mengalami obesitas, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas adalah 80%. Bila salah satu orang tua mengalami obesitas, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas adalah 40%. Jika kedua orang tua tidak mengalami obesitas, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas hanya 14% (Sjarif, 2002). Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi kemungkinan seseorang mengalami obesitas adalah faktor nutrisi yang dikonsumsi, aktivitas fisik, serta kondisi lingkungan sosial (Sjarif, 2002).
Implikasi dari penderita obesitas salah satunya adalah resiko peningkatan terjadinya penyakit kardiovaskular dan gangguan metabolik seperti penyakit jantung koroner, aterosklerosis, hipertensi, dislipidemia, diabetes dan gagal jantung (Rompas, 2012). Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan pada bagian-bagian yang berhubungan dengan sistem kardiovaskular seperti jantung dan pembuluh darah (Nurrahman, tanpa tahun).
Sistem peredaran darah atau sistem kardiovaskular adalah suatu sistem organ yang berfungsi memindahkan zat ke dan dari sel. Sistem ini juga menolong stabilisasi suhu dan pH tubuh (bagian dari homeostasis). Komponen organ yang berperan dalam sistem kardiovaskuler antara lain jantung, pembuluh darah nadi, pembuluh darah balik, paru-paru dan darah (Nurrahman, tanpa tahun).
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses arterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya (Majid, 2007). PJK merupakan bagian dari penyakit pada sistem kardiovaskular, yang merupakan masalah di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Penyakit kardiovaskular yang tadinya hanya menyerang orang dewasa, belakangan mulai menyerang anak-anak usia remaja. Hal ini dapat terlihat dari studi terbaru mengenai adanya peningkatan proses arterosklerosis pada dinding vaskuler anak-anak (Atabek et al., 2007 dalam Nurrahman). Selain itu, penyakit lain yang dijumpai pada anak-anak adalah hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2, yang dulunya juga didominasi oleh orang dewasa. Berbagai penyakit tersebut diawali oleh adanya obesitas pada anak-anak. Obesitas diasosiasikan dengan adanya abnormalitas metabolik (dislipidemia, insulin resisten dan hiperglikemia) dan hipertensi yang meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler (Katier et al., 2008 dalam Nurrahman). Sehingga, ada indikasi bahwa obesitas dapat menyebabkan terjadinya proses arterosklerosis.
Obesitas merupakan pemicu bagi banyak penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kematian, sehingga harus ada upaya pencegahan terhadap obesitas khususnya pada anak-anak. Salah satu upaya pencegahan obesitas adalah dengan konsumsi sayur dan buah-buahan. Sayur dan buah-buahan mengandung serat dalam jumlah besar, yang diperlukan oleh anak-anak penderita obesitas. Konsumsi serat akan mengurangi asupan lemak dan garam yang selanjutnya akan menurunkan tekanan darah dan mencegah peningkatan berat badan (Sartika, 2011). Selain itu, upaya pencegahan obesitas pada anak-anak adalah dengan melakukan aktivitas fisik yang teratur. Aktivitas fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh khususnya otot yang membutuhkan energi dan olahraga adalah salah satu bentuk aktivitas fisik. Rekomendasi dari Physical Activity and Health menyatakan bahwa ‘aktivitas fisik sedang’ sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit atau lebih dalam seminggu. Aktivitas fisik sedang antara lain berjalan, jogging, berenang, dan bersepeda (Mustelin et al., 2009 dalam Sartika). Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan hanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yangsehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan dalam mencegah stres. Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang mempengaruhi obesitas pada anak-anak (Sartika, 2011).
Latihan fisik atau olahraga yang dilakukan dengan takaran, durasi, dan frekuensi yang tepat, dianggap dapat memperbaiki profil lemak darah, yaitu menurunkan kadar total kolesterol, LDL, dan trigliserida. Bahkan olahraga dianggap dapat memperbaiki HDL, yaitu suatu jenis kolesterol yang kadarnya sulit dinaikkan (Hermansyah. dkk, tanpa tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa latihan atau olahraga yang benar selama 20-30 menit akan menaikkan kemampuan sebesar 35% bila dilakukan 3 kali seminggu dalam jangka waktu setengah bulan. Bila dilaksanakan selama 6 bulan berturut-turut, akan diperoleh hasil yang optimal (Hermansyah. dkk, tanpa tahun).
Oleh karena itu, disarankan kepada anak-anak maupun remaja yang mengalami obesitas untuk melakukan aktivitas fisik secara rutin dan teratur untuk mengurangi berat badan dan menurunkan resiko terkena penyakit kardiovaskular. Selain itu juga konsumsi sayur dan buah-buahan untuk meurunkan kadar lemak dalam tubuh, sehingga tubuh tidak mengalami obesitas.

Referensi
Atabek, M.M. et al.. 2007. Evidence For Association Between Insulin Resistance and Premature Carotid Artherosclerosis in Childhood Obesity. Pediatric Research 61(3): 345-349
Hermansyah, dkk. Aktifitas Fisik Dan Kesehatan Mental Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Pasien Rawat Jalan Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo       Dan RSUD Labuang Baji Makassar. Artikel Penelitian. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
Katier, N.V.P. et al.. 2008. Early Cardiac Abnormalities in Obese Children: Importance of Obesity per se Versus Associated Cardiovascular Risk Factor. Pediatric Research    64(2): 205-209
Krisno, A.M.. 2002. Gizi dan Kesehatan. Edisi Pertama. Jakarta: Bayu Media & UMM Press
Lestari, Sri. 2012. Faktor Resiko Penyebab Kejadian Obesitas Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2011. Tesis. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara
Majid, Abdul. 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. Medan: Universitas Sumatera Utara
Mustelin, L. et al.. 2009. Physical Activity Reduces the Influence of Genetic Effects on BMI and Waist Circumference: a Study in Young Adult Twins. Int. J. Obes. 33: 29-36
Nurrahman. Obesitas di Kalangan Anak-Anak dan Dampaknya Penyakit Kardiovaskular. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Rompas, Tracey. C.C.W.. 2012. Hubungan Obesitas Umum Dan Obesitas Sentral Dengan Penyakit Jantung Koroner Pada Pasien Di BLU/RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado: Universitas Sam Ratulangi
Sjarif, D.R.. 2002. Obesity in Childhood : Pathogenesis and Management. Surabaya: Naskah Lengkap National Obesity Symposium I, Surabaya.
WHO, 2006. Controlling The Global Obesity Epidemic [Online]. http://www.who.int/about/copyright/en

Tuesday, May 3, 2016

Definisi, Gejala, dan Akibat Malnutrisi

Malnutrisi adalah  kondisi berkurangnya nutrisi tubuh, atau suatu kondisi terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh (Harmoko, 2011). Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk mempertahankan kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi dalam tubuh juga berakibat terjadinya malabsorpsi makanan atau kegagalan metabolik (Oxford Medical Dictionary, 2007 dalam Azmi, 2010).
Sumber gizi dapat dibagi kepada dua jenis, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronurien adalah zat yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang besar untuk memberikan tenaga secara langsung yaitu protein sejumlah 4 kkal, karbohidrat sejumlah 4 kkal dan lemak sejumlah 9 kkal. Mikronutrien adalah zat yang penting dalam menjaga kesehatan tubuh tetapi hanya diperlukan dalam jumlah yang sedikit dalam tubuh yaitu vitamin yang terbagi atas vitamin larut lemak, vitamin tidak larut lemak, dan mineral (Wardlaw et al, 2004 dalam Azmi, 2010).
Makronutrien. Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi manusia. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 Kkal. Sebagian karbohidrat berada di dalam sirkulasi darah sebagai glukosa untuk keperluan energi sekarang dan sebagian lagi disimpan sebagai glikogen di dalam hati dan jaringan otot, dan sebagian diubah menjadi lemak (Almatsier, 2006). Protein adalah molekul makro yang terdiri dari rantai-rantai panjang asam amino yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen; beberapa asam amino mengadung unsur-unsur tambahan seperti fosfor dan besi yang terikat satu sama lain dengan ikatan peptide (Tortora G.J. and Derrickson B., 2006 dalam Azmi, 2010). Lemak adalah senyawa-senyawa heterogen yang bersifat tidak larut dalam air (hidrofobik). Lemak juga termasuk dalam sumber energi manusia selain bertindak sebagai koenzim bagi vitamin larut lemak. Lemak juga berfungsi sebagai sumber energi yang menghasilkan 9 Kkal untuk setiap gram yaitu kira-kira tiga kali besar energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama (Almatsier, 2006).
Mikronutrien. Vitamin adalah zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil dan kebanyakannya tidak dibentuk oleh tubuh (essensial). Vitamin terbagi kepada dua jenis yaitu vitamin larut lemak ( vitamin A, D, E, K) dan vitamin larut air (vitamin B1, B2, niasin, B6, B12, , asam pantotenat, asam folat, biotin, vit.C) (Tortora G.J. and Derrickson B., 2006 dalam Azmi, 2010). Mineral meliputi kira-kira 4% daripada berat badan manusia. Mineral memegang berbagai peran di dalam tubuh yaitu merupakan sebagian dari matrik tulang, meregulasi reaksi enzimatik, mengawal pH dan cairan tubuh dan terlibat di dalam proses osmosis air dan berbagai ion. Mineral digolongkan di dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral Makro dibutuhkan lebih dari 100 mg sehari. Antara contoh-contoh mineral ialah kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na), dan kalium (K). Mineral mikro ialah mineral yang dibutuhkan kurang dari 15 mg sehari. Antara contoh – contoh mineral mikro ialah besi (Fe), seng (Zn), iodium (I), dan selenium (Se) (Almatsier, 2006).
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara-negara berkembang, yang merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita (Krisnansari, 2010). Penyebab KEP dapat dibagi kepada dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh. Kurang energi protein bisa terjadi karena adanya beberapa faktor yang secara bersamaan menyebabkan penyakit ini, antara lain ialah faktor sosial dan ekonomi contohnya masalah kemiskinan dan faktor lingkungan yaitu tempat tinggal yang padat dan tidak bersih. Selain itu, pemberiaan Air Susu Ibu (ASI) dan makanan tambahan yang tidak bergizi juga menjadi penyebab terjadinya masalah KEP. Secara klinis, KEP dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu, kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor. Marasmus terjadi karena pengambilan energi yang tidak cukup sementara kwashiorkor terjadi terutamanya karena pengambilan protein yang tidak cukup. Sementara tipe marasmik kwashiorkor yaitu gabungan diantara gejala marasmus dan kwashiorkor (Kleigmen et al, 2007 dalam Azmi, 2010).
Marasmus terjadi karena pengambilan energi yang tidak cukup. Pada penderita yang menderita marasmus, pertumbuhannya akan berkurang atau terhenti, sering berjaga pada waktu malam, mengalami konstipasi atau diare. Selain itu, tugor kulit akan menghilang dan penderita terlihat keriput, lemak pada bagian pipi akan menghilang, vena superfisialis akan terlihat jelas, ubun-ubun besar cekung, tulang pipi dan dagu menonjol dan mata tampak besar dan dalam. Perut tampak membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas dan tampak atropi (Hassan et al, 2005).
Kwashiorkor terjadi terutamanya karena pengambilan protein yang tidak cukup. Pada penderita yang menderita kwashiorkor akan mengalami gangguan pertumbuhan (pada anak khususnya), perubahan mental yaitu penderita menjadi cengeng dan pada stadium lanjut menjadi apatis dan sebagian besar penderita ditemukan edema. Selain itu, penderita akan mengalami gejala gastrointestinal yaitu anoreksia dan diare. Hal ini terjadi mungkin karena adanya gangguan fungsi hati, pankreas, dan usus pada penderita kwashiorkor (Hassan et al, 2005).
Ada beberapa cara untuk mengukur nilai gizi seseorang, salah satunya adalah antropometri. Pengukuran antropometri paling sering digunakan untuk mengukur gangguan tumbuh kembang. Antropometri digunakan secara meluas karena cukup praktis dengan pendekatan non-invasif dalam mengukur status nutrisi individu atau masyarakat. Ukuran antropometri adalah berupa penimbangan berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA), lingkaran kepala dan lapisan lemak bawah kulit. Indeks antropometri yang paling sering digunakan ialah BB/U, TB/U, dan BB/TB. Indeks BB/U dapat digunakan untuk mengenal pasti masalah berat badan rendah menurut umur yang spesifik. Kelebihan BB/U adalah dapat mengenal pasti masalah malnutrisi baik akut maupun kronik, walaupun indeks BB/U tidak dapat membedakan penderita menderita malnutrisi akut atau kronik. Indeks TB/U dapat digunakan untuk mengenal pasti masalah malnutrisi yang kronik. Untuk anak dibawah dua tahun, istilah yang digunakan adalah panjang badan-umur, sementara istilah TB/U digunakan untuk anak dua tahun dan ke atas. TB/U yang rendah menandakan tumbuh kembang yang terhambat. Indeks BB/TB digunakan untuk mengenal pasti malnutrisi yang dialami oleh seseorang adalah malnutrisi akut ataupun baru terjadi saat ini. BB/TB berguna untuk mengukur efek malnutrisi jangka pendek karena penyakit ataupun perubahan pola makan (Cogill B., 2003).
Klasifikasi KEP berdasarkan perhitungan menggunakan antropometri dengan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB

Tabel Klasifikasi KEP
INDEKS
SIMPANGAN BAKU
STATUS GIZI
BB/U
≥ 2 SD
Gizi Lebih
-2 sampai +2 SD
Gizi Baik
< -2 sampai -3 SD
Gizi Kurang
< -3 SD
Gizi Buruk
TB/U
-2 sampai +2 SD
Normal
< -2 SD
Pendek
BB/TB
≥ 2 SD
Gemuk
-2 sampai +2 SD
Normal
< -2 sampai -3 SD
Kurus
< -3 SD
Sangat Kurus
Sumber: Arisman, 2010

Daftar Pustaka
Almatsier, S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Edisi ke-6. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arisman, 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar ilmu Gizi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Azmi, Mohd Ikhwan. 2010. Prevalensi Jenis Kekurangan Gizi pada Anak Umur Bawah Lima Tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan pada Tahun 2008 – 2009. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Cogill, B., 2003. Anthropometric Indicators Measurement Guide. [online]. Available from: http://www.fantaproject.org/downloads/pdfs/anthro_1.pdf
Harmoko, Benny. 2010. Gambaran Status Nutrisi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis Berkala di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2010. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran.          Medan: Universitas Sumatera Utara.
Hassan, R., et al,. 2005. Gizi: Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-11. Jakarta: Infomedika Jakarta.
Keane V., 2007. Assessment of Growth. In : Kliegman, R.M., Behrman, R.E., Jenson, H.B., and Stanton B.F., Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia : Saunders.
Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
Trotora, G.J., Derrickson, B., 2006. Principles of Anatomy and Physiology, 11th ed. USA: John Wiley and Sons, Inc.
Wardlaw, M.G., Hampl, J.S., Disilvestro, R.A., 2004. What Nourishes you? In: Perspective in Nutrition, 6th ed. NY: Mc Graw Hill.

Metabolisme Karbohidrat Penderita Diabetes Mellitus

Secara umum, karbohidrat adalah  senyawa organik yang mengandung atom Karbon, Hidrogen dan Oksigen, dan pada umumnya unsur Hidrogen dan oksigen dalam komposisi menghasilkan H2O (Hutagalung, 2004). Karbohidrat dapat dihasilkan dari dalam tubuh manusia sendiri maupun dari luar tubuh manusia. Di dalam tubuh sendiri, karbohidrat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak. Namun, sebagian besar karbohidrat yang diperoleh oleh tubuh berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh manusia, umumnya dari bahan pangan nabati (Hutagalung, 2004). 
Karbohidrat merupakan sumber energi bagi manusia, namun karbohidrat yang dikonsumsi oleh manusia harus dipecah terlebih dahulu untuk dapat menghasilkan energi. Proses pemecahan karbohidrat ini dikenal sebagai proses metabolisme karbohidrat. Proses metabolisme karbohidrat yang dapat menghasilkan energi disebut proses glikolisis. Pada proses ini, glukosa akan dipecah menjadi asam piruvat atau asam laktat sehingga menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Indah Sari, 2007).
Proses pemecahan karbohidrat untuk menghasilkan energi berlangsung di dalam sitoplasma sel-sel tubuh. Untuk dapat mencapai sel-sel tubuh, karbohidrat yang berasal dari makanan harus mengalami proses pencernaan dan absorbsi, sehingga dapat ditransportasi ke bagian sel tubuh yang membutuhkan. Pada prosesnya, sumber makanan penghasil karbohidrat yang dikonsumsi akan masuk ke rongga mulut, dimana terdapat  enzim amilase saliva. Enzim ini akan bekerja pada zat pati menghasilkan maltosa dan beberapa glukosa lainnya. Setelah melewati rongga mulut, enzim amilase saliva akan berhenti bekerja dan dilanjutkan oleh kerja enzim amilase penkreas. Jika kerja enzim amilase maksimal, maka di usus halus akan dihasilkan disakarida. Selanjutnya, disakarida tersebut akan dihidrolisis oleh enzim disakaridase spesifik sehingga menghasilkan monosakarida. Hasil dari proses pencernaan dan absorbsi ini adalah glukosa. Glukosa ini akan diangkut oleh peredaran darah dan didistribusikan ke sel-sel tubuh yang membutuhkan. Glukosa yang berada di dalam darah biasa disebut sebagai Kadar Gula Darah (KDG) (Indah Sari, 2007).
Glukosa yang dihasilkan dari proses pencernaan dan absorbsi tadi akan masuk ke dalam sel dan dipecah di dalam sel menjadi energi melalui proses glikolisis yang terjadi pada sitoplasma sel. (Indah Sari, 2007). Proses glikolisis dapat terjadi secara 2 kondisi, yaitu kondisi aerob dan anaerob. Pada kondisi aerob, glukosa akan dioksidasi menjadi asam piruvat, dimana asam piruvat tersebut dapat berpindah dari sitoplasma menuju mitokondria. Di mitokondria, asam piruvat akan dioksidasi menjadi asetil KoA, yang kemudian dapat dioksidasi melalui siklus kreb berdampingan dengan rantai pernapasan. Pada kondisi anaerob, produk akhir yang akan dihasilkan adalah asam laktat. Asam laktat nantinya akan dikeluarkan dari sel, mengikuti peredaran darah membentuk glukosa melalui glukoneogenesis di ginjal (Indah Sari, 2007).
Pada penderita Diabetes Melitus, proses metabolisme karbohidrat yang terjadi tidak berjalan sempurna. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit turunan, yang disebabkan oleh adanya faktor kelainan gen. Kelainan gen tersebut mengakibatkan hilangnya enzim tertentu yang dibutuhkan dalam merangsang suatu proses metabolisme (Suriani, 2012).
Diabetes melitus merupakan gangguan kronik pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin dan resistensi insulin pada jaringan yang dituju (Jafar, 2004). Diabetes melitus dibedakan menjadi dua tipe, yaitu DM 1 dan DM 2. Pada Diabetes melitus tipe 1, penderita sama sekali tidak dapat memproduksi insulin dalam tubuhnya, sedangkan pada diabetes melitus tipe 2, penderita mampu menghasilkan insulin, namun jumlahnya tidak mencukupi. (Jafar, 2004). Diabetes melitus tipe 1 disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), sedangkan diabetes melitus tipe 2 disebut juga Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Suriani, 2012).
Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta di pankreas, sebuah kelenjar yang terletak di belakang lambung, yang berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan di dalam hati dan otot. (Suriani, 2012). Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel pankreas. Insulin terdiri atas dua rantai polipeptida. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida (Suriani, 2012).
Diabetes melitus secara umum terjadi karena adanya proses patogenesis (Jafar, 2004). Pada diabetes melitus tipe 1, penderita tidak dapat memproduksi hormon insulin yang disebabkan oleh serangan antibodi pada sel beta pankreas. Sedangkan pada diabetes melitus tipe 2, penderita mampu memproduksi insulin dalam pankreasnya, namun insulin yang ada tidak bekerja dengan baik karena reseptor insulin pada sel berkurang atau berubah strukturnya (Suriani, 2012). Berdasarkan penelitian, 5-10% penderita diabetes merupakan penderita diabetes melitus tipe 1, sedangkan sisanya merupakan penderita diabetes melitus 2 (Jafar, 2004).
Pada penderita diabetes melitus, baik DM 1 maupun DM 2, mampu mencerna dan mengabsorbsi zat-zat pati dari makanan yang dikonsumsi menjadi glukosa, dan mengedarkannya pada sel-sel yang membutuhkan. Namun penderita diabetes melitus tidak dapat mengubah glukosa yang ada menjadi energi, sehingga kadar glukosa yang ada di dalam tubuh menjadi melebihi batas yang seharusnya. Hal tersebut dikarenakan ketiadaan hormon insulin pada DMM tipe 1, dan kurangnya hormon insulin pada DM tipe 2.
Untuk mengatasi penyakit diabetes melitus, penderita dianjurkan melakukan diet dan olahraga yang dikontrol oleh dokter. Diet yang dimaksud adalah diet dari makanan yang manis dan mengandung karbohidrat, sehingga dapat mengurangi kadar glukosa di dalam darah. Sedangkan olahraga yang dilakukan dapat meningkatkan efek insulin pada dalam tubuh, sehingga sangat dianjurkan rajin berolahraga pada penderita diabetes melitus tipe 2 khususnya (Jafar, 2004).

Referensi
Hutagalung, Halomoan. 2004. Karbohidrat. Lecture Paper. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Indah Sari, Mutiara. 2007. Glikolisis Sebagai Metabolisme Karbohidrat Untuk Menghasilkan Energi. Lecture Paper. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Jafar, Nurhaedar. 2004. Diabetes Mellitus. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.
Suriani, Nidia. 2012. Gangguan Metabolisme Karbohidrat pada Diabetes Melitus. Thesis. Malang: Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.